Apakahistri harus melunasi utang suaminya? Jawab: Bismillah was shalatu was salamu 'ala Rasulillah, wa ba'du, Istri, berapapun jumlah hartanya, tidak berkewajiban untuk menanggung nafkah suaminya. Karena harta istri menjadi murni milik istri. Allah menegaskan bahwa harta istri murni menjadi miliknya, dan tidak ada seorangpun yang boleh Bolehkahatau apa hukum memasuki kamar orang lain, membuka dompet, membuka lemari orang lain tanpa izin yang punya? JazaakALLAH khayr atas jawaban dan ilmunya. Dari : Rahmayani Mustadiran. Dijawab oleh : Fastabikul Randa Ar-Riyawi حفظه الله تعالى melalui tanya jawab grup Kajian Whatsapp. Wa'alaikumussalam Warohmatullahi Wabarokatuh. Kepadapolisi, tersangkarestoran di Negeri Ratu Elizabeth itu. Dream - Beragam fakta soal kehidupan para pemilik biro perjalanan umroh PT First Anugerah Karya atau First Travel semakin terkuak.Selain aset mewah di Indonesia, perusahaan milik pasangan suami istri Andika Surachman dan Anniesa Desvitasari Hasibuan juga membeli sebuah restoran di Inggris. Penyelidikmenggeledah apartemen dan kantor Rudy Giuliani, mantan pengacara mantan Presiden Donald Trump, di New York pada hari Rabu. READ Sang suami mencuri dompet istri saat bertengkar di restoran. Malik Taheri "Guru Twitter. Kutu buku zombie bersertifikat. AS dan China berselisih soal kunjungan Pelosi ke Asia Timur Apakah Vay Tiền Trả Góp Theo Tháng Chỉ Cần Cmnd Hỗ Trợ Nợ Xấu. Bolehkah seorang istri mencuri harta suaminya? Misal ketika suami pelit dalam hal nafkah. Istri akhirnya mengambil uang dari dompet suami diam-diam. Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata bahwa Hindun binti Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ “Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714 Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara urf menurut kebiasaan setempat. Fath Al-Bari, 9 509 Perlu dipahami bahwa sifat yang disebut Hindun pada suaminya Abu Sufyan, bahwa suaminya itu pelit, bukan berarti suaminya memang orang yang pelit pada siapa saja. Bisa jadi ia bersikap seperti itu pada keluarganya, namun ada barangkali yang lebih membutuhkan sehingga ia dahulukan. Jadi, kurang tepat kalau menganggap Abu Sufyan adalah orang yang pelit secara mutlak. Demikian tutur Syaikh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah dalam Minhah Al-Allam, 8 159. Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas 1- Hadits di atas menunjukkan akan wajibnya nafkah seorang suami pada istrinya. Bahkan hal ini menjadi ijma’ kesepakatan para ulama. Lihat bahasan lainnya di sini 2- Hadits di atas juga menunjukkan seorang ayah wajib memberi nafkah pada anaknya. Kewajiban nafkah ini ada selama anak tersebut a masih kecil, 2 baligh namun dalam keadaan sakit atau masih belum mampu mencari nafkah. Jika anak tersebut sudah baligh dan sudah mampu dalam mencari nafkah, maka gugurlah kewajiban nafkah dari ayah. Namun hadits Hindun ini menunjukkan bahwa kewajiban nafkah seorang ayah adalah secara mutlak selama anak-anak itu dalam keadaan fakir. Ia wajib memberi nafkah pada mereka, tidak memandang di sini apakah mereka telah baligh atau sudah dalam keadaan kuat mencari nafkah. 3- Jika ada suami yang punya kewajiban memberi nafkah pada istri lantas tidak diberi karena sifat pelitnya, maka istri boleh mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Karena nafkah pada istri itu wajib. Para ulama juga mengglobalkan hal ini, bukan hanya perihal nafkah. Juga termasuk hal lainnya yang ada di situ kewajiban memberi, namun tidak dipenuhi dengan baik. Berarti hal ini tidak berlaku jika nafkah istri terpenuhi dengan baik. 4- Besar nafkah yang dianggap dan mencukupi itu seperti apa, ini tergantung pada tempat dan waktu. Abul Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama baca jumhur bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat kembali pada urf dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” Majmu’ Al-Fatawa, 34 83 5- Kalau melihat dari pandangan ulama Hanafiyah, hadits ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar besarnya nafkah adalah apa yang dirasa cukup oleh istri. Karena dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan pada Hindun, silakan ambil harta suaminya yang mencukupinya. Namun yang paling bagus kita katakan bahwa besarnya nafkah itu dilihat dari kemampuan suami dan kecukupan istri, yaitu memandang dua belah pihak. Disebutkan dalam ayat, لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” QS. Ath Tholaq 7. عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula.” QS. Al-Baqarah 236. Dikompromikan dengan hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika berkata pada Hindun, خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” HR. Bukhari, no. 5364. Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak. 6- Jika istri masih mampu mendapatkan kecukupan dari harta suami meskipun nantinya ia mengambil diam-diam, maka tidak boleh menuntut untuk pisah cerai. Jadi cerai bukanlah jalan keluar dari sulitnya nafkah. 7- Jika seorang isteri mengadukan suaminya demi meminta nasihat seperti yang dilakukan oleh Hindun, itu tidak termasuk ghibah. 8- Boleh mendengar perkataan dari wanita bukan mahram ketika ia sedang membutuhkan fatwa atau penjelasan dalam masalah hukum. Hal ini dengan syarat selama aman dari fitnah godaan dan tidak dengan suara yang mendayu-dayu. Seperti misalnya, masih boleh menerima telepon dari pria selama tidak ada godaan dan tidak dengan suara mendayu-dayu. Allah Ta’ala berfirman, يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” QS. Al-Ahzab 32 Semoga bermanfaat. Referensi utama Minhah Al-Allam fi Syarh Bulugh Al-Maram. Cetakan kedua, tahun 1433 H. Syaikh Abdullah bin Shalih Al-Fauzan. Penerbit Dar Ibnul Jauzi. 8 157-163. — Disusun Darush Sholihin, Panggang, Gunungkidul, 19 Dzulqa’dah 1437 H Oleh Muhammad Abduh Tuasikal Channel Telegram RumayshoCom, DarushSholihin, UntaianNasihat, RemajaIslam – Kamu punya suami pelit padahal di dompet suami banyak uangnya? Bolehkah kita ambil uang dari dompet miliknya secara diam-diam? Dari Aisyah radhiyallahu anha, ia berkata bahwa Hindun binti Utbah, istri dari Abu Sufyan, telah datang berjumpa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu berkata, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan itu orang yang sangat pelit. Ia tidak memberi kepadaku nafkah yang mencukupi dan mencukupi anak-anakku sehingga membuatku mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Apakah berdosa jika aku melakukan seperti itu?” Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, خُذِى مِنْ مَالِهِ بِالْمَعْرُوفِ مَا يَكْفِيكِ وَيَكْفِى بَنِيكِ “Ambillah dari hartanya apa yang mencukupi anak-anakmu dengan cara yang patut.” HR. Bukhari, no. 5364; Muslim, no. 1714 Ibnu Hajar rahimahullah menyatakan bahwa mengambil dengan cara yang ma’ruf, maksudnya adalah sesuai kadar yang dibutuhkan secara urf menurut kebiasaan setempat. Fath Al-Bari, 9 509 Perlu dipahami bahwa sifat yang disebut Hindun pada suaminya Abu Sufyan, bahwa suaminya itu pelit, bukan berarti suaminya memang orang yang pelit pada siapa saja. Bisa jadi ia bersikap seperti itu pada keluarganya, namun ada barangkali yang lebih membutuhkan sehingga ia dahulukan. Jadi, kurang tepat kalau menganggap Abu Sufyan adalah orang yang pelit secara mutlak. Demikian tutur Syaikh Abdullah Al-Fauzan hafizhahullah dalam Minhah Al-Allam, 8 159. Faedah yang bisa dipetik dari hadits di atas 1- Hadits di atas menunjukkan akan wajibnya nafkah seorang suami pada istrinya. Bahkan hal ini menjadi ijma’ kesepakatan para ulama. 2- Hadits di atas juga menunjukkan seorang ayah wajib memberi nafkah pada anaknya. Kewajiban nafkah ini ada selama anak tersebut a masih kecil, 2 baligh namun dalam keadaan sakit atau masih belum mampu mencari nafkah. Jika anak tersebut sudah baligh dan sudah mampu dalam mencari nafkah, maka gugurlah kewajiban nafkah dari ayah. Namun hadits Hindun ini menunjukkan bahwa kewajiban nafkah seorang ayah adalah secara mutlak selama anak-anak itu dalam keadaan fakir. Ia wajib memberi nafkah pada mereka, tidak memandang di sini apakah mereka telah baligh atau sudah dalam keadaan kuat mencari nafkah. 3- Jika ada suami yang punya kewajiban memberi nafkah pada istri lantas tidak diberi karena sifat pelitnya, maka istri boleh mengambil hartanya tanpa sepengetahuannya. Karena nafkah pada istri itu wajib. Para ulama juga mengglobalkan hal ini, bukan hanya perihal nafkah. Juga termasuk hal lainnya yang ada di situ kewajiban memberi, namun tidak dipenuhi dengan baik. Berarti hal ini tidak berlaku jika nafkah istri terpenuhi dengan baik. 4- Besar nafkah yang dianggap dan mencukupi itu seperti apa, ini tergantung pada tempat dan waktu. Abul Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata, “Yang tepat dan lebih benar sebagaimana yang dinyatakan oleh kebanyakan ulama baca jumhur bahwa nafkah suami pada istri kembali pada kebiasaan masyarakat kembali pada urf dan tidak ada besaran tertentu yang ditetapkan oleh syari’at. Nafkah itu berbeda sesuai dengan perbedaan tempat, zaman, keadaan suami istri dan adat yang ada.” Majmu’ Al-Fatawa, 34 83 5- Kalau melihat dari pandangan ulama Hanafiyah, hadits ini menunjukkan bahwa yang dijadikan standar besarnya nafkah adalah apa yang dirasa cukup oleh istri. Karena dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengatakan pada Hindun, silakan ambil harta suaminya yang mencukupinya. Namun yang paling bagus kita katakan bahwa besarnya nafkah itu dilihat dari kemampuan suami dan kecukupan istri, yaitu memandang dua belah pihak. Disebutkan dalam ayat, لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آَتَاهُ اللَّهُ “Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.” QS. Ath Tholaq 7. عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ “Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya pula.” QS. Al-Baqarah 236. Dikompromikan dengan hadits bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika berkata pada Hindun, خُذِى مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ “Ambillah dari hartanya yang bisa mencukupi kebutuhanmu dan anak-anakmu dengan kadar sepatutnya.” HR. Bukhari, no. 5364. Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa yang jadi patokan dalam hal nafkah Mencukupi istri dan anak dengan baik, ini berbeda tergantung keadaan, tempat dan zaman. Dilihat dari kemampuan suami, apakah ia termasuk orang yang dilapangkan dalam rizki ataukah tidak. 6- Jika istri masih mampu mendapatkan kecukupan dari harta suami meskipun nantinya ia mengambil diam-diam, maka tidak boleh menuntut untuk pisah cerai. Jadi cerai bukanlah jalan keluar dari sulitnya nafkah. 7- Jika seorang isteri mengadukan suaminya demi meminta nasihat seperti yang dilakukan oleh Hindun, itu tidak termasuk ghibah. 8- Boleh mendengar perkataan dari wanita bukan mahram ketika ia sedang membutuhkan fatwa atau penjelasan dalam masalah hukum. Hal ini dengan syarat selama aman dari fitnah godaan dan tidak dengan suara yang mendayu-dayu. Seperti misalnya, masih boleh menerima telepon dari pria selama tidak ada godaan dan tidak dengan suara mendayu-dayu. Allah Ta’ala berfirman, يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلَا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلًا مَعْرُوفًا “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik.” QS. Al-Ahzab 32 Semoga bermanfaat. Sumber Home » Featured Penulis Dzikir Pikir Ditayangkan 24 Mar 2017 Intip isi ponsel suami via curiga seringkali menghantui setiap orang terhadap pasangannya. Terutama yang sering dialami oleh seorang istri terhadap suaminya. Apalagi jika suaminya sering berada di luar rumah untuk urusan pekerjaannya. Istri yang merasa kesepian, seringkali berpikir hal-hal yang tidak seharusnya, ketika suami ada kesempatan, ada seorang istri yang memang memiliki rasa cemburu cukup besar, kepo atau penasaran terhadap ponsel milik suami. Sehingga, ia mengambil dan membuka ponsel itu tanpa izin dari suami sebagai pemiliknya. Lantas, bagaimana Islam memandang hal ini, apakah boleh istri kepoin ponsel suami?Istri punya kewajiban menaati suaminya selagi tidak disuruh maksiat. Suami berhak melarang istrinya dalam hal yang mubah, seperti istri dilarang membuka dompet, ponsel, tas atau perangkat lainnya milik suami. Tetapi suami tidak boleh melarang istri beribadah yang itu adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ dalil yang menjelaskan hal ini banyak sekali, misalnya, jika istri dilarang oleh suami dari puasa sunnah sedangkan suami ada di rumah maka itu wajib ditaati. Karena menaati perintah suami dalam hal yang mubah hukumnya wajib, selagi istri mampu melaksanakannya. Sedangkan puasa sunnah hukumnya tidak wajib, maka istri tidak boleh meninggalkan yang wajib karena menyibukkan diri dengan mengamalkan Juga Kena Santet kok ke Dukun, Islam itu Sudah Jelas Mengajarkan agar Terhindar dari SantetRasulullah ﷺ bersabda, “Tidak diperbolehkan bagi seorang istri untuk berpuasa sunnah sementara suaminya ada di sisinya kecuali dengan izinnya dan tidak boleh seorang istri mengizinkan seseorang masuk ke rumahnya kecuali dengan izin suaminya,” HR. Al-BukhariJika suami berhak melarang istrinya puasa sunnah pada saat suami berada di rumah, maka suami lebih berkhak melarang istrinya untuk membuka tas, komputer, ponsel, maupun dompetnya. Istri wajib menjaga barang berharga di rumah suami. Istri tidak boleh mengambil apapun milik suami tanpa izin jika ada seorang istri yang kepo terhadap ponsel suami, dan membuka privasi milik suami, maka ini adalah tindakan yang tidak benar. Sebab, meminta izin terlebih dahulu adalah kewajiban seorang istri. Kecuali, jika sudah ada kesepakatan bahwa boleh meminjam barang milik suami tanpa izin terlebih dahulu, maka istri boleh istri husnuzhan berprasangka baik kepada suami. Istri haruslah menanamkan rasa kepercayaan terhadap suaminya. Sebab, saling percaya satu sama lain adalah penguat suatu hubungan rumah tangga. Dan jika istri melihat kemungkaran suami secara nyata, hendaknya suami dinasihati dengan baik. []Sumber featured islam cinta orang tua Dalam pernikahan, kehidupan tidak selalu mulus seperti dalam cerita skenario film. Pasti ada sengketa antara suami dan istri yang menyebabkan rumah tangga menjadi kacau dalam beberapa hari. Entah kesalahan dari pihak istri ataupun pihak melakukan kesalahan hendaknya langsung meminta maaf agar hubungan menjadi sedia kala, karena hubungan pernikahan bukanlah sebuah hubungan seperti orang melakukan pacaran yang mana bisa putus dan lanjut. Hubungan pernikahan adalah hubungan sehidup semati hingga kelak salah satu dipanggil oleh yang maha di antara pihak istri atau suami ketika terjadi sengketa dan cekcok sangat enggan untuk meminta maaf atau gengsi sendiri. Karena berpikir bahwa kesalahan tersebut bukanlah kesalahannya, akibatnya keduanya memutuskan untuk saling mendiamkan satu sama sini kita akan membahas mengenai dari sudut pandang bagaimana jika seorang istri mendiamkan suaminya?Kewajiban IstriKita pahami dahulu kewajiban seorang istri kepada suaminya adalah berbakti dan melayani sang suami, memberikan kasih sayang, dan menghormati sang suami. Sebagaimana yang Rasulullah SAW ajarkan kepada umatnya, “Sebaik-baiknya wanita ialah bila engkau pandang, dia menyenangkan; bila engkau perintah, dia mentaati; dan bila engkau tidak ada, dia menjaga hartamu dan kehormatannya.“Dari ajaran Rasulullah SAW di atas kita harus mengetahui bahwa seorang istri harusnya mantaati suaminya dan menjaga harta serta kehormatannya. Bagaimana pun setelah mengucapkan ijab kobul sewaktu pernikahan, maka segala tanggungan istri sudah menjadi tanggung jawab seorang ini berdasarkan firman Allah SWT dalam Al-Quran surah Al-Baqarah,وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌArtinya “Dan mereka para wanita memiliki hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang pantas. Tetapi para suami mempunyai kelebihan di atas mereka. Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.” Al-Baqarah 228.Seorang istri adalah tembok dalam hubungan rumah tangga dan suami adalah atapnya. Maka kewajiban mereka pun seharusnya adalah saling melengkapi satu sama lain. Jika tembok itu ada kerusasakan maka segera lah perbaiki agar tidak menimbulkan keruntuhan begitu pun atap, jika ada kerusakan masa segera perbaiki agar tidak ada kerusakan itu didiamkan saja, tentu kita tahu risiko paling berbahaya yakni bisa runtuhnya rumah tangga yang telah dibuat. Dalam pernikahan komunikasi adalah hal penting dalam menjalin sebuah Istri Mendiamkan SuamiDalam Islam, jika seorang istri mendiamkan suami maka hukumnya haram. Hal ini dilandasi dari sebuah hadits Mu’adz RA. Rasulullah SAW bersabda,“Tidak halal istri meninggalkan tempat tidur suami dan tidak halal pula mendiamkan suaminya. Jika ada suatu perbuatan yang mendzalimi suami, hendaklah ia datang kepadanya hingga suami menyatakan keridhaannya. Jika ternyata suami mau meridhainya, kedatangannya sudah cukup dan kelak Allah akan menerima alasannya dan memenangkan hujjahnya, dan ia tidak berdosa lagi. Akan tetapi, jika suami tidak mau meridhainya, sesungguhnya istri telah menyampaikan alasannya di hadapan Allah.” HR. Al-Thabrani, Al-Hakim, dan Al-Baihaqi.Dapat disimpulkan bahwa sikap mendiamkan suami adalah hal yang tidak dipuji dan tidak patut untuk dilakukan dalam Islam. Jika istri melakukan kesalahan hendaknya meminta maaf kepada suami dengan sesegera mungkin. Ini lah hal yang dianjurkan dalam suami menerima permintaan maafnya, maka terhapuslah dosa sang istri dan jika suami tidak menerima permintaan maafnya maka Allah SWT yang akan mengadili perkara tersebut. Karena sejatinya keutamaan seorang istri adalah meminta maaf jika melakukan kesalahan kepada dari seorang istri meminta maaf sangat besar terutama dalam menjaga keutuhan rumah tangga. Istri shalihah pasti akan meminta maaf sekecil apapun perkara tersebut. Bahkan ketika tidak bersalah, jika ada persengkataan seorang istri wajib meminta maaf untuk meredam emosi sesaat agar bisa mempertahankan hubungan rumah seorang istri mendiamkan istri maka hal ini bisa dikatakan ke dalam hajr yang hukumnya jelas haram jika melewati batasan dalam tiga hari. Sebagaimana dijelaskan dalam hadist dari Abu ayyub RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Tidak halal bagi muslim memutuskan persahabatan dengan saudaranya lebih dari tiga hari tiga malam. Mereka bertemu, lalu seseorang berpaling dan lainnya juga berpaling. Yang paling baik di antara keduanya adalah yang memulai mengucapkan salam.” HR. Bukhari dan Muslim.Namun ada juga yang berpendapat bahwa jika diam bisa menghidari dari marah yang sia-sia, maka hukumnya diperbolehkan, namun mengacu lagi pada hadits di atas bahwa tidak boleh lebih dari tiga 3 hari. Diam disini diartikan sebagai diam ketika terjadi perdebatan hebat. Maka diwajibkan para muslim untuk bersikap diam ketika sedang marah.“Apabila seseorang dari kalian marah, hendaklah ia diam.” HR. Bukhari.Maka seburuk dan sekecil apapun, hendaknya untuk berkomunikasi jika ada permasalahan. Tidak baik dalam Islam jika seorang istri dan suami bertengkar dan ribut apalagi permasalahan tersebut terdengar hingga ke orang tua. Pasti akan menimbulkan ada masalah selesaikan dengan baik dan berkompromi dari hati ke hati, sampaikan tujuan dan keinginan dari kedua belah pihak berkenaan dari hal yang tidak disukai dari sikap masing-masing. Agar penikahan senantiasa terjaga keharmonisannya.

bolehkah istri menggeledah dompet suami